ARTIKEL

Universitas Trisakti

UNIVERSITAS  Trisakti  (USAKTI)  adalah sebuah perguruan tinggi swasta dengan perjalanan  sejarah yang panjang.’  Hari jadinya diperingati setiap tanggal 29 November, yang mengacu  pada tanggal mulai dibukanya  kembali  universitas tersebut pada tahun  1965, menggantikan Universitas  Res Publica  (URECA)  yang  ditutup   sementara oleh Pemerintah.  Ketika itu URECA  dihentikan  aktivitasnya karena menjadi  basis ormas PKI dan kemudian  sebagian gedungnya  rata dengan  tanah  karena dibakar dan dihancurkan massa anti-komunis.

001UniversitasTrisaktib

Menurut  Statuta Universitas Trisakti tahun 2001, USAKTI didirikan oleh beberapa orang tokoh yang mewakili unsur masyarakat, Pemerintah dan akademisi.’ Para tokoh tersebut mendirikan  Yayasan Trisakti untuk mengurus dan mengelola universitas tersebut.  Menurut  SK Menteri  Pendidikan dan Kebudayaan No.0281 tahun 1979, Yayasan Trisakti merupakan pembina  dan pengelola Universitas Trisakti sejak 27 Januari 1966 hingga waktu yang tidak terbatas. SK Menteri tersebut juga menetapkan  Yayasan sebagai penanggung-jawab sepenuhnya  harta-benda USAKTI.

Sedari  awal  USAKTI  adalah  sebuah  perguruan   tinggi yang mendedikasikan  dirinya sebagai lembaga pendidikan swasta. Cikal bakalnya merupakan  inisiatif rnasyarakat, sebagai bagian dari upaya memberi  kontribusi kepada pemerintah dan negara. Maka benar jika Statuta  Universitas Trisakti 2001 dalam mukadimahnya  mengatakan  bahwa universitas ini didirikan oleh masyarakat untuk  masyarakat. Ditekankan  pula bahwa pendiriannya berdasar pada kemajemukan bangsa Indonesia  dalam rangka nation and character building, menjunjung tinggi wawasan kebangsaan, demokrasi  dan hak-hak Asasi Manusia (Kadeham). 

Catatan ini diperlukan  untuk  meluruskan  anggapan yang oleh sebagian kecil kalangan berusaha mengembangkan anggapan, bahwa  pendirian USAKTI adalah  atas inisiatif  Pemerintah. Para tokoh tersebut mendirikan Yayasan Trisakti yang selanjutnya mengurus dan mengelola universitas. Menurut SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.0281 tahun 1979, Yayasan Trisakti merupakan pembina dan pengelola Universitas Trisakti sejak 27 Januari 1966 hingga waktu yang tidak terbatas. SK Menteri itu juga menetapkan Yayasan sebagai penanggung-jawab sepenuhnya harta-benda USAKTI.

Hal ini diperlukan untuk memberi klarifikasi bahwa usaha-usaha untuk menegerikan USAKTI merupakan  pengingkaran dari sejarah sekaligus tujuan awal pendirian  universitas serta merupakan akal bulus dari segelintir orang untuk mempersulit pemberlakuan  keputusan  hukum  yang berkekuatan  tetap.

Dari Masyarakat untuk Masyarakat

Cikal bakal Universitas Trisakti dapat ditelusuri pada tahun 1958, ketika muncul sebuah peristiwa yang menggemparkan masyarakat Tionghoa di Jakarta. Dua remaja WNI Keturunan Tionghoa yang menjadi bintang pelajar di sekolahnya dan dianugerahi piala oleh Gubernur Jakarta, ternyata tidak diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Peristiwa tersebut memicu keinginan yang sudah lama terpendam di kalangan WNI Keturunan Tionghoa untuk membangun sebuah universitas swasta pengganti yang diperlukan untuk menampung putra-putri WNI Keturunan Tionghoa sesudah lulus SMA. Keinginan ini memang mempunyai dasar bila menilik konteks penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi pada masa itu. Daya tampung universitas negeri sangat terbatas dan ‘jatah’ untuk WNI Keturunan Tionghoa lebih terbatas lagi. Beredar pemahaman tidak tertulis dan seolah sudah menjadi rahasia umum bahwa jatah untuk WNI Keturunan Tionghoa di universitas negeri tidak lebih dari 2 persen dari daya tampung.

Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (BAPERKI), sebuah ormas masyarakat minoritas keturunan Tionghoa, kemudian tergerak untuk mengambil prakarsa mendirikan perguruan tinggi. Organisasi yang dibentuk pada 13 Maret 1954 ini, dipimpin Siauw Giok Tjhan, seorang aktivis politik dan wartawan. BAPERKI banyak menyelenggarakan pengumpulan dana untuk usaha-usaha sosial dan penyelenggaraan pendidikan. Organisasi ini dikenal mempunyai sekolah-sekolah mulai dari tingkat TK dan SMA. Peristiwa menggemparkan yang menimpa bintang pelajar itu membulatkan tekad BAPERKI untuk mendirikan universitas.

Warga keturunan Tionghoa sendiri cukup banyak yang dapat memaklumi adanya pemberian khusus tersebut. Pemerintah sepertinya ingin melakukan emansipasi dengan menaikkan keterwakilan mahasiswa pribumi. Hal ini disebabkan karena pada masa penjajahan Belanda, mahasiswa dan pengelola universitas banyak diisi oleh warga keturunan Tionghoa.

Josef Dharmabrata, salah seorang warga keturunan Tionghoa yang kala itu menjadi mahasiswa angkatan pertama Universitas BAPERKI bercerita, bahwa adanya upaya melakukan emansipasi mahasiswa pribumi oleh Pemerintah dia ketahui dari pamannya, bekerja sebagai Lektor Kepala di Fakultas Kedokteran UI. Beliau membantu Rektor yang waktu itu dijabat Dr. Sudjono Djuned Pusponegoro. Paman Josef Dharmabrat juga mengerti dan dapat menerima kebijakan Pemerintah yang membatasi keturunan Tionghoa di universitas negeri. Hal ini disebabkan karena semua pimpinan kepala bagian FK-UI ketika itu diisi oleh orang Tionghoa.

Karena sekolah kedokteran di Indonesia pada periode sebelumnya belum ada, para peminat jurusan kedokteran harus pergi ke Belanda untuk belajar hal medis. Akibatnya, hanya mcreka yang mampu, anak-anak bupati dan anak-anak pengusaha, yang bisa mendapat ilmu kedokteran. Paman yang dimaksud adalah Prof. Dr. Ouw Eng Liang, salah seorang gurubesar di Fakultas Kedokteran GigiUI.

Harry Tjan Silalahi, salah seorang tokoh angkatan 1966 yang di masa mudanya pernah mengepalai sebuah sekolah Tionghoa, menambahkan, bahwa masih sedikitnya keterwakilan mahasiswa pribumi di universitas negeri ketika itu antara lain karena faktor sejarah. Setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Pemerintah Indonesia pada 1950, praktis universitas-universitas negeri peninggalan Belanda banyak yang dilanjutkan oleh para staf yang berlatar belakang warga keturunan Tionghoa. Soalnya, para intelektual pribumi kala itu banyak yang hijrah ke Yogyakarta. Juga karena mereka umumnya adalah kaum Republiken, sehingga oleh Belanda ketika itu tidak diterima. Inilah yang membuat banyak jabatan penting pengelola universitas negeri diduduki oleh warga keturunan Tionghoa.

“Maka wajar kalau ketika itu kader-kader pribumi masih sangat sedikit, sehingga diadakan emansipasi untuk meningkatkan jumlah mereka. Inilah yang melatarbelakangi dibatasinya mahasiswa warga keturunan Tionghoa di universitas negeri,” kata Harry Tjan.

Selain karena dibatasinya warga keturunan Tionghoa di universitas negeri, alasan lain mengapa BAPERKI ingin mendirikan universitas adalah untuk menampung siswa-siswa lulusan sekolah-sekolah Tionghoa. Sekolah-sekolah ini pada tahun 1957 harus ditutup dan membubarkan diri menyusul kebijakan Pemerintah yang tidak lagi memperbolehkan adanya status dwi-kewarganegaraan (warga Tiongkok dan warga RI) bagi WNI keturunan Tionghoa.

Oleh karena itu, berbagai sekolah khusus warga keturunan seperti Chung Hwa, Ma Chung, Sin Hua, Pa Chung dan lainnya terpaksa ditutup. Lulusannya tentu saja tidak dapat diterima di universitas negeri maupun universitas umum lainnya karena ijazahnya tidak diakui. Maka ketika itu satu-satunya universitas yang bisa menampung siswa tanpa ijazah SMA umum itu adalah Universitas BAPERKI, dengan catatan sambil kuliah mereka harus mengambil persamaan ijazah SMA umum.

Sementara itu, pada saat yang hampir bersamaan, sekelompok tokoh warga keturunan Tionghoa lainnya yang bergabung dalam Perhimpunan Sosial Candra Naya (kala itu masih bernama Sin Ming Hui), telah juga berencana mendirikan universitas yang kelak diberi nama Universitas Tarumanegara (Universitas ini berdiri pada tahun 1959, setahun setelah Universitas BAPERKI). Perhimpunan yang diprakarsai oleh Kweet Hwat Djien ini merupakan tokoh-tokoh yang beraliran politik berbeda dengan BAPERKI. Mereka ini umumnya condong kepada Partai Sosial Indonesia (PSI) walaupun diantara tokohnya, seperti P.K. Ojong sebelumnya sempat bergabung di BAPERKI.

Adanya rencana mendirikan Universitas Tarumanegara turut menjadi pendorong semakin kuatnya tekad Siauw Giok Tjhan dan kawan-kawan untuk mendirikan Universitas BAPERKI.

Perlu dicatat kegiatan BAPERKI dalam pendirian dan pengelolaan sekolah-sekolah tidak terlepas dari misi dan nilai- nilai yang dianutnya sebagai sebuah organisasi masyarakat (ormas). BAPERKI memperjuangkan agar orang Tionghoa menjadikan Indonesia tanah airnya, berintegrasi dengan Indonesia dan bersama-sama memajukan nation Indonesia tanpa menghilangkan identitas ke-Tionghoa-annya. Pada saat yang sama BAPERKI juga memperjuangkan agar Indonesia sebagai negara melindungi hak-hak dan kepentingan orang Tionghoa sebagai warga negara, memperlakukan mereka sebagai salah satu ‘suku bangsa’ seperti masyarakat etnik asli Indonesia lainnya. (Tujuan perjuangan ini agak berbeda dengan perjuangan Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB), sebuah lembaga yang juga menghimpun WNI Keturunan Tionghoa,yang nantinya mengambil peran sebelumnya dijalankan oleh BAPERKI).

Pada tahun 1958 berdirilah Universitas BAPERKI. Pada mula-mula sekali wujud universitas ini masih berupa Perguru an Tinggi Pendidikan Guru Teknik (PTPGT). Dalam perjalanannya PTGPT berubah menjadi Fakultas Teknik Universitas BAPERKI.

Setahun kemudian, Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan BAPERKI berhasil membeli tanah bekas kuburan Tionghoa di Grogol. Di atas tanah itulah kemudian dibangun tempat perkuliahan PTPGT yang sebelumnya memanfaatkan gedung eks sekolah Sin Hua. Pada tahun 1962, Universitas BAPERKI berganti nama menjadi Universitas Res Publica (URECA). Pergantian nama itu berlangsung bersamaan dengan diternpatinya gedung baru perkuliahan di kawasan Grogol atau Jl. Kyai Tapa, Jakarta, sekarang.

Universitas Res Publica

Ada beberapa versi cerita tentang pembelian tanah bekas kuburan ini. Menurut Ho Hien Tjwan dalam suratnya kepada Ramadhan KH, 10 November 2000, Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan BAPERKI membeli tanah tersebut. Tanah itu harus dibeli dari Kong Koan, satu badan administrasi bagi golongan etnik Tionghoa dari zaman Belanda. Pada masa tersebut, UU Agraria menetapkan tidak mungkin seorang non-pri begitu saja membeli dan memiliki tanah. Maka ditugaskan kepada Buyung Saleh, sekretaris BAPERKI untuk secara formal membeli tanah itu atas nama pribadi. K. Sindhunatha mengatakan bahwa tanah itu semula adalah tanah Kong Koan yang kemudian menjadi milik orang-orang BAPERKI tetapi ia tidak tahu nama-nama mereka. Versi lain mengatakan tanah itu diberikan oleh Walikota Jakarta, Sumarno untuk kepentingan BAPERKI.

Perubahan nama ini diinspirasi oleh pidato Bung Kamo pada forum konstituante di Bandung pada tahun 1959 yang berjudul “Res Publica, sekali lagi Res Publica.” Res Publica sendiri mempunyai arti, “Untuk kepentingan umum,” untuk menekankan misi URECA mewujudkan pendidikan tinggi bagi semua golongan masyarakat, terutama kalangan miskin. Rektor penama URECA adalah F. Lumban Tobing. Selanjutnya, beliau digantikan oleh Ny. Dr. Utami Suryadarma karena Tobing meninggal dunia.

Han Hwie Song, seorang dokter berdarah Tionghoa yang lahir di Surabaya akhir tahun 1931 yang kemudian hari hijrah dan menjadi warga negara China, mempunyai kenangan tersendiri tentang URECA yang dapat menjadi gambaran bagaimana URECA di masa-masa awalnya. Menurut dia, ketika Universitas BAPERKI berubah menjadi URECA, pembangunan kampusnya belum sepenuhnya rampung. “Waktu saya bekerja di sana, gedung universitas yang letaknya di Grogol, tidak jauh dari rumah sakit Sin Ming Hui, ruangannya luas dan masih belum selesai semuanya. Di situ juga dibangun perumahan untuk dosen-dosen dan saya juga akan dapat rumah yang sedang dibangun,” tulis Han Hwie Song dalam salah satu dari sekian banyak tulisan kenangannya di laman web.budaya-tionghoa.net.

Dalam kenangan Han Hwie Song, kawasan Grogol kala itu sering dilanda banjir di musim hujan. “Kalau musim hujan daerah Grogol ini banjir dan banyak ularnya yang beracun pada keluar ….. Dulu daerah ini masih banyak kosong belum banyak bangunan seperti sekarang ini, maka hewan-hewan seperti ular masih bisa berkembang biak ….. Kalau banjir, ditempatkan papan-papan agar mahasiswa bisa masuk gedung, tetapi harus hati-hati jangan menginjak ular yang bahaya itu,” kata dokter yang atas jasanya membina hubungan Tiongkok dan Belanda, dianugerahi penghargaan tertinggi oleh Ratu Beatrix Bintang Ridder In De Orde Vtm Oranje Nassau.

Ia menambahkan, untuk mendirikan universitas dengan fakultas-fakultas yang lengkap, masyarakat Tionghoa bergotong royong memberikan sumbangan. “… karenanya dapat dikatakan bahwa URECA adalah kepunyaan masyarakat Tionghoa, khususnya di Jakarta,” tulis Han Hwie Song, yang menulis kenang-kenangannya itu dalam bahasa Indonesia yang masih khas tempo dulu.

Menurut Han Hwie Song, kultur orang Tionghoa umumnya adalah sangat mementingkan pendidikan anak-anaknya. Oleh karena itu, kehadiran URECA disambut gembira. “Dapat saya katakan bahwa mereka merasa senang, bahwa anaknya nanti bisa meneruskan pendidikannya ke universitas. Pembicaraan ini lebih keras didengar waktu ujian terakhir SMA. Banyak orangtua yang tanpa mendaftarkan anaknya ke universitas negeri, langsung mendaftarkan ke URECA!”, kata Han Hwie Song, yang sudah pula membukukan memoarnya dengan judul Memoar Han Hwie Song: Dari Pecinan Surabaya sampai Menerima Bintang Ridder in de Orde van Oranje Naussau.

Diakui oleh Han Hwie Song, “Pimpinan BAPERKI merasakan kekurangan universitas waktu itu, padahal calon mahasiswa jauh lebih banyak jumlahnya dari jumlah bangku kemampuan universitas negeri, maka kontradiksi yang ada dalam masyarakat dijawab oleh pimpinan BAPERKI dengan didirikannya URECA, agar bisa menerima mahasiswa-mahasiswa yang tidak diterima di universitas negeri, tanpa membedakan etnis klas sosialnya. Pada umumnya mereka yang tidak diterima sebagai akibat tidak cukupnya bangku kuliah adalah mahasiswa-mahasiswa keturunan Tionghoa yang banyak jumlahnya, maka URECA mahasiswanya WNI keturunan Tionghoa merupakan mayoritas dan mereka berdatangan dari seluruh Nusantara.”

URECA pun tumbuh dengan pesat. Pada tahun 1965 jumlah mahasiswa sudah mencapai 5000-an orang dengan mayoritas adalah warga keturunan Tionghoa. Pada saat itu URECA sudah terdiri dari enam fakultas, yakni Fakultas Teknik (dibuka November 1959), Fakultas Kedokteran Gigi (1959), Fakultas Kedokteran (1962), Fakultas Ekonomi (1962), Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat (1962) dan Fakultas Sastra (1962). Ia juga mempunyai cabang di kota-kota lain seperti di Surabaya, Medan dan Yogyakarta. Pembangunan gedungnya juga sudah mulai dilakukan di kota Malang, Cirebon dan Bandung.

Pilihan-pilihan fakultas yang dibuka tersebut tidak datang secara kebetulan. Ini terkait dengan kehadiran URECA sebagai universitas yang datang atas inisiatif masyarakat dan untuk masyarakat. Para pendiri universitas itu sangat menekankan pentingnya pendidikan teknologi dan penekanan pada bidang terapan. Sangat dianjurkan agar universitas tersebut mengem- bangkan program pendidikan yang mengawinkan teori dan praktik sehingga para lulusannya dapat menerapkannya di tengah masyarakat.