Histori

Universitas Trisakti

UNIVERSITAS Trisakti (USAKTI) adalah sebuah perguruan tinggi swasta dengan perjalanan sejarah yang panjang.’ Hari jadinya diperingati setiap tanggal 29 November, yang mengacu pada tanggal mulai dibukanya kembali universitas tersebut pada tahun 1965, menggantikan Universitas Res Publica (URECA) yang ditutup sementara oleh Pemerintah. Ketika itu URECA dihentikan aktivitasnya karena menjadi basis ormas PKI dan kemudian sebagian gedungnya rata dengan tanah karena dibakar dan dihancurkan massa anti-komunis.

001UniversitasTrisaktib

Menurut Statuta Universitas Trisakti tahun 2001, USAKTI didirikan oleh beberapa orang tokoh yang mewakili unsur masyarakat, Pemerintah dan akademisi.’ Para tokoh tersebut mendirikan Yayasan Trisakti untuk mengurus dan mengelola universitas tersebut. Menurut SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.0281 tahun 1979, Yayasan Trisakti merupakan pembina dan pengelola Universitas Trisakti sejak 27 Januari 1966 hingga waktu yang tidak terbatas. SK Menteri tersebut juga menetapkan Yayasan sebagai penanggung-jawab sepenuhnya harta-benda USAKTI.

Sedari awal USAKTI adalah sebuah perguruan tinggi yang mendedikasikan dirinya sebagai lembaga pendidikan swasta. Cikal bakalnya merupakan inisiatif rnasyarakat, sebagai bagian dari upaya memberi kontribusi kepada pemerintah dan negara. Maka benar jika Statuta Universitas Trisakti 2001 dalam mukadimahnya mengatakan bahwa universitas ini didirikan oleh masyarakat untuk masyarakat. Ditekankan pula bahwa pendiriannya berdasar pada kemajemukan bangsa Indonesia dalam rangka nation and character building, menjunjung tinggi wawasan kebangsaan, demokrasi dan hak-hak Asasi Manusia (Kadeham).

Catatan ini diperlukan untuk meluruskan anggapan yang oleh sebagian kecil kalangan berusaha mengembangkan anggapan, bahwa pendirian USAKTI adalah atas inisiatif Pemerintah. Para tokoh tersebut mendirikan Yayasan Trisakti yang selanjutnya mengurus dan mengelola universitas. Menurut SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.0281 tahun 1979, Yayasan Trisakti merupakan pembina dan pengelola Universitas Trisakti sejak 27 Januari 1966 hingga waktu yang tidak terbatas. SK Menteri itu juga menetapkan Yayasan sebagai penanggung-jawab sepenuhnya harta-benda USAKTI.

Hal ini diperlukan untuk memberi klarifikasi bahwa usaha-usaha untuk menegerikan USAKTI merupakan pengingkaran dari sejarah sekaligus tujuan awal pendirian universitas serta merupakan akal bulus dari segelintir orang untuk mempersulit pemberlakuan keputusan hukum yang berkekuatan tetap.

Dari Masyarakat untuk Masyarakat

Cikal bakal Universitas Trisakti dapat ditelusuri pada tahun 1958, ketika muncul sebuah peristiwa yang menggemparkan masyarakat Tionghoa di Jakarta. Dua remaja WNI Keturunan Tionghoa yang menjadi bintang pelajar di sekolahnya dan dianugerahi piala oleh Gubernur Jakarta, ternyata tidak diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Peristiwa tersebut memicu keinginan yang sudah lama terpendam di kalangan WNI Keturunan Tionghoa untuk membangun sebuah universitas swasta pengganti yang diperlukan untuk menampung putra-putri WNI Keturunan Tionghoa sesudah lulus SMA. Keinginan ini memang mempunyai dasar bila menilik konteks penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi pada masa itu. Daya tampung universitas negeri sangat terbatas dan ‘jatah’ untuk WNI Keturunan Tionghoa lebih terbatas lagi. Beredar pemahaman tidak tertulis dan seolah sudah menjadi rahasia umum bahwa jatah untuk WNI Keturunan Tionghoa di universitas negeri tidak lebih dari 2 persen dari daya tampung.

Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (BAPERKI), sebuah ormas masyarakat minoritas keturunan Tionghoa, kemudian tergerak untuk mengambil prakarsa mendirikan perguruan tinggi. Organisasi yang dibentuk pada 13 Maret 1954 ini, dipimpin Siauw Giok Tjhan, seorang aktivis politik dan wartawan. BAPERKI banyak menyelenggarakan pengumpulan dana untuk usaha-usaha sosial dan penyelenggaraan pendidikan. Organisasi ini dikenal mempunyai sekolah-sekolah mulai dari tingkat TK dan SMA. Peristiwa menggemparkan yang menimpa bintang pelajar itu membulatkan tekad BAPERKI untuk mendirikan universitas.

Warga keturunan Tionghoa sendiri cukup banyak yang dapat memaklumi adanya pemberian khusus tersebut. Pemerintah sepertinya ingin melakukan emansipasi dengan menaikkan keterwakilan mahasiswa pribumi. Hal ini disebabkan karena pada masa penjajahan Belanda, mahasiswa dan pengelola universitas banyak diisi oleh warga keturunan Tionghoa.

Josef Dharmabrata, salah seorang warga keturunan Tionghoa yang kala itu menjadi mahasiswa angkatan pertama Universitas BAPERKI bercerita, bahwa adanya upaya melakukan emansipasi mahasiswa pribumi oleh Pemerintah dia ketahui dari pamannya, bekerja sebagai Lektor Kepala di Fakultas Kedokteran UI. Beliau membantu Rektor yang waktu itu dijabat Dr. Sudjono Djuned Pusponegoro. Paman Josef Dharmabrat juga mengerti dan dapat menerima kebijakan Pemerintah yang membatasi keturunan Tionghoa di universitas negeri. Hal ini disebabkan karena semua pimpinan kepala bagian FK-UI ketika itu diisi oleh orang Tionghoa.

Karena sekolah kedokteran di Indonesia pada periode sebelumnya belum ada, para peminat jurusan kedokteran harus pergi ke Belanda untuk belajar hal medis. Akibatnya, hanya mcreka yang mampu, anak-anak bupati dan anak-anak pengusaha, yang bisa mendapat ilmu kedokteran. Paman yang dimaksud adalah Prof. Dr. Ouw Eng Liang, salah seorang gurubesar di Fakultas Kedokteran GigiUI.

Harry Tjan Silalahi, salah seorang tokoh angkatan 1966 yang di masa mudanya pernah mengepalai sebuah sekolah Tionghoa, menambahkan, bahwa masih sedikitnya keterwakilan mahasiswa pribumi di universitas negeri ketika itu antara lain karena faktor sejarah. Setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Pemerintah Indonesia pada 1950, praktis universitas-universitas negeri peninggalan Belanda banyak yang dilanjutkan oleh para staf yang berlatar belakang warga keturunan Tionghoa. Soalnya, para intelektual pribumi kala itu banyak yang hijrah ke Yogyakarta. Juga karena mereka umumnya adalah kaum Republiken, sehingga oleh Belanda ketika itu tidak diterima. Inilah yang membuat banyak jabatan penting pengelola universitas negeri diduduki oleh warga keturunan Tionghoa.

“Maka wajar kalau ketika itu kader-kader pribumi masih sangat sedikit, sehingga diadakan emansipasi untuk meningkatkan jumlah mereka. Inilah yang melatarbelakangi dibatasinya mahasiswa warga keturunan Tionghoa di universitas negeri,” kata Harry Tjan.

Selain karena dibatasinya warga keturunan Tionghoa di universitas negeri, alasan lain mengapa BAPERKI ingin mendirikan universitas adalah untuk menampung siswa-siswa lulusan sekolah-sekolah Tionghoa. Sekolah-sekolah ini pada tahun 1957 harus ditutup dan membubarkan diri menyusul kebijakan Pemerintah yang tidak lagi memperbolehkan adanya status dwi-kewarganegaraan (warga Tiongkok dan warga RI) bagi WNI keturunan Tionghoa.

Oleh karena itu, berbagai sekolah khusus warga keturunan seperti Chung Hwa, Ma Chung, Sin Hua, Pa Chung dan lainnya terpaksa ditutup. Lulusannya tentu saja tidak dapat diterima di universitas negeri maupun universitas umum lainnya karena ijazahnya tidak diakui. Maka ketika itu satu-satunya universitas yang bisa menampung siswa tanpa ijazah SMA umum itu adalah Universitas BAPERKI, dengan catatan sambil kuliah mereka harus mengambil persamaan ijazah SMA umum.

Sementara itu, pada saat yang hampir bersamaan, sekelompok tokoh warga keturunan Tionghoa lainnya yang bergabung dalam Perhimpunan Sosial Candra Naya (kala itu masih bernama Sin Ming Hui), telah juga berencana mendirikan universitas yang kelak diberi nama Universitas Tarumanegara (Universitas ini berdiri pada tahun 1959, setahun setelah Universitas BAPERKI). Perhimpunan yang diprakarsai oleh Kweet Hwat Djien ini merupakan tokoh-tokoh yang beraliran politik berbeda dengan BAPERKI. Mereka ini umumnya condong kepada Partai Sosial Indonesia (PSI) walaupun diantara tokohnya, seperti P.K. Ojong sebelumnya sempat bergabung di BAPERKI.

Adanya rencana mendirikan Universitas Tarumanegara turut menjadi pendorong semakin kuatnya tekad Siauw Giok Tjhan dan kawan-kawan untuk mendirikan Universitas BAPERKI.

Perlu dicatat kegiatan BAPERKI dalam pendirian dan pengelolaan sekolah-sekolah tidak terlepas dari misi dan nilai- nilai yang dianutnya sebagai sebuah organisasi masyarakat (ormas). BAPERKI memperjuangkan agar orang Tionghoa menjadikan Indonesia tanah airnya, berintegrasi dengan Indonesia dan bersama-sama memajukan nation Indonesia tanpa menghilangkan identitas ke-Tionghoa-annya. Pada saat yang sama BAPERKI juga memperjuangkan agar Indonesia sebagai negara melindungi hak-hak dan kepentingan orang Tionghoa sebagai warga negara, memperlakukan mereka sebagai salah satu ‘suku bangsa’ seperti masyarakat etnik asli Indonesia lainnya. (Tujuan perjuangan ini agak berbeda dengan perjuangan Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB), sebuah lembaga yang juga menghimpun WNI Keturunan Tionghoa,yang nantinya mengambil peran sebelumnya dijalankan oleh BAPERKI).

Pada tahun 1958 berdirilah Universitas BAPERKI. Pada mula-mula sekali wujud universitas ini masih berupa Perguru an Tinggi Pendidikan Guru Teknik (PTPGT). Dalam perjalanannya PTGPT berubah menjadi Fakultas Teknik Universitas BAPERKI.

Setahun kemudian, Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan BAPERKI berhasil membeli tanah bekas kuburan Tionghoa di Grogol. Di atas tanah itulah kemudian dibangun tempat perkuliahan PTPGT yang sebelumnya memanfaatkan gedung eks sekolah Sin Hua. Pada tahun 1962, Universitas BAPERKI berganti nama menjadi Universitas Res Publica (URECA). Pergantian nama itu berlangsung bersamaan dengan diternpatinya gedung baru perkuliahan di kawasan Grogol atau Jl. Kyai Tapa, Jakarta, sekarang.

Ada beberapa versi cerita tentang pembelian tanah bekas kuburan ini.Menurut Ho Hien Tjwan dalam suratnya kepada

UniversitasResPublika

Ramadhan KH, 10 November 2000, Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan BAPERKI membeli tanah tersebut. Tanah itu harus dibeli dari Kong Koan, satu badan administrasi bagi golongan etnik Tionghoa dari zaman Belanda. Pada masa tersebut, UU Agraria menetapkan tidak mungkin seorang non-pri begitu saja membeli dan memiliki tanah. Maka ditugaskan kepada Buyung Saleh, sekretaris BAPERKI untuk secara formal membeli tanah itu atas nama pribadi. K. Sindhunatha mengatakan bahwa tanah itu semula adalah tanah Kong Koan yang kemudian menjadi milik orang-orang BAPERKI tetapi ia tidak tahu nama-nama mereka. Versi lain mengatakan tanah itu diberikan oleh Walikota Jakarta, Sumarno untuk kepentingan BAPERKI.

Perubahan nama ini diinspirasi oleh pidato Bung Kamo pada forum konstituante di Bandung pada tahun 1959 yang berjudul “Res Publica, sekali lagi Res Publica.” Res Publica sendiri mempunyai arti, “Untuk kepentingan umum,” untuk menekankan misi URECA mewujudkan pendidikan tinggi bagi semua golongan masyarakat, terutama kalangan miskin. Rektor penama URECA adalah F. Lumban Tobing. Selanjutnya, beliau digantikan oleh Ny. Dr. Utami Suryadarma karena Tobing meninggal dunia.

Han Hwie Song, seorang dokter berdarah Tionghoa yang lahir di Surabaya akhir tahun 1931 yang kemudian hari hijrah dan menjadi warga negara China, mempunyai kenangan tersendiri tentang URECA yang dapat menjadi gambaran bagaimana URECA di masa-masa awalnya. Menurut dia, ketika Universitas BAPERKI berubah menjadi URECA, pembangunan kampusnya belum sepenuhnya rampung. “Waktu saya bekerja di sana, gedung universitas yang letaknya di Grogol, tidak jauh dari rumah sakit Sin Ming Hui, ruangannya luas dan masih belum selesai semuanya. Di situ juga dibangun perumahan untuk dosen-dosen dan saya juga akan dapat rumah yang sedang dibangun,” tulis Han Hwie Song dalam salah satu dari sekian banyak tulisan kenangannya di laman web.budaya-tionghoa.net.

Dalam kenangan Han Hwie Song, kawasan Grogol kala itu sering dilanda banjir di musim hujan. “Kalau musim hujan daerah Grogol ini banjir dan banyak ularnya yang beracun pada keluar ….. Dulu daerah ini masih banyak kosong belum banyak bangunan seperti sekarang ini, maka hewan-hewan seperti ular masih bisa berkembang biak ….. Kalau banjir, ditempatkan papan-papan agar mahasiswa bisa masuk gedung, tetapi harus hati-hati jangan menginjak ular yang bahaya itu,” kata dokter yang atas jasanya membina hubungan Tiongkok dan Belanda, dianugerahi penghargaan tertinggi oleh Ratu Beatrix Bintang Ridder In De Orde Vtm Oranje Nassau.

Ia menambahkan, untuk mendirikan universitas dengan fakultas-fakultas yang lengkap, masyarakat Tionghoa bergotong royong memberikan sumbangan. “… karenanya dapat dikatakan bahwa URECA adalah kepunyaan masyarakat Tionghoa, khususnya di Jakarta,” tulis Han Hwie Song, yang menulis kenang-kenangannya itu dalam bahasa Indonesia yang masih khas tempo dulu.

Menurut Han Hwie Song, kultur orang Tionghoa umumnya adalah sangat mementingkan pendidikan anak-anaknya. Oleh karena itu, kehadiran URECA disambut gembira. “Dapat saya katakan bahwa mereka merasa senang, bahwa anaknya nanti bisa meneruskan pendidikannya ke universitas. Pembicaraan ini lebih keras didengar waktu ujian terakhir SMA. Banyak orangtua yang tanpa mendaftarkan anaknya ke universitas negeri, langsung mendaftarkan ke URECA!”, kata Han Hwie Song, yang sudah pula membukukan memoarnya dengan judul Memoar Han Hwie Song: Dari Pecinan Surabaya sampai Menerima Bintang Ridder in de Orde van Oranje Naussau.

Diakui oleh Han Hwie Song, “Pimpinan BAPERKI merasakan kekurangan universitas waktu itu, padahal calon mahasiswa jauh lebih banyak jumlahnya dari jumlah bangku kemampuan universitas negeri, maka kontradiksi yang ada dalam masyarakat dijawab oleh pimpinan BAPERKI dengan didirikannya URECA, agar bisa menerima mahasiswa-mahasiswa yang tidak diterima di universitas negeri, tanpa membedakan etnis klas sosialnya. Pada umumnya mereka yang tidak diterima sebagai akibat tidak cukupnya bangku kuliah adalah mahasiswa-mahasiswa keturunan Tionghoa yang banyak jumlahnya, maka URECA mahasiswanya WNI keturunan Tionghoa merupakan mayoritas dan mereka berdatangan dari seluruh Nusantara.”

URECA pun tumbuh dengan pesat. Pada tahun 1965 jumlah mahasiswa sudah mencapai 5000-an orang dengan mayoritas adalah warga keturunan Tionghoa. Pada saat itu URECA sudah terdiri dari enam fakultas, yakni Fakultas Teknik (dibuka November 1959), Fakultas Kedokteran Gigi (1959), Fakultas Kedokteran (1962), Fakultas Ekonomi (1962), Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat (1962) dan Fakultas Sastra (1962). Ia juga mempunyai cabang di kota-kota lain seperti di Surabaya, Medan dan Yogyakarta. Pembangunan gedungnya juga sudah mulai dilakukan di kota Malang, Cirebon dan Bandung.

Pilihan-pilihan fakultas yang dibuka tersebut tidak datang secara kebetulan. Ini terkait dengan kehadiran URECA sebagai universitas yang datang atas inisiatif masyarakat dan untuk masyarakat. Para pendiri universitas itu sangat menekankan pentingnya pendidikan teknologi dan penekanan pada bidang terapan. Sangat dianjurkan agar universitas tersebut mengem- bangkan program pendidikan yang mengawinkan teori dan praktik sehingga para lulusannya dapat menerapkannya di tengah masyarakat.

Habis URECA, Terbitlah USAKTI

Seiring dengan perkembangannya sebagai universitas swasta yang menampung berbagai mahasiswa dengan aspirasi sosial politik yang berbeda, URECA juga menjadi tempat bertumbuhnya organisasi kemahasiswaan yang berorientasi bahkan menjadi onderbouw partai-partai politik.

Di URECA ada Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PM KRI), ada Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), ada Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (Perhimi) yang berorientasi pada BAPERKI dan tak ketinggalan pula Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Namun di antara berbagai organisasi mahasiswa, yang paling dominan adalah Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) yang merupakan onderbouw dari PKI. Kehadiran CGMI di URECA sesungguhnya lebih belakangan bila dibanding lainnya, mengingat secara organisasi pun baru berdiri pada 1958. Meskipun demikian, CGMI berkembang demikian cepat. Ini tak dapat dipisahkan dari perkernbangan BAPERKI di seluruh Tanah Air yang hanya dalam lima tahun saja sudah beranggotakan 17 ribu orang pada 1963. Sudah sangat umum dikenal bahwa CGMI adalah organisasi mahasiswa beraliran kiri. Fanatisme anggotanya sangat menonjolkan konektivitas dan berkembang dengan cepat. Mereka memfasilitasi anggotanya dengan berbagai kegiatan, termasuk membentuk kelompok belajar dan klub olah raga. Dosen-dosen yang beraliran kiri juga cukup aktif membantu mereka. Berkernbangnya CGMI di URECA tidak dapat dipisahkan dari BAPERKI sebagai organisasi di belakang universitas ini. Sernakin lama sernakin berkernbang pula persepsi bahwa BAPERKI sernakin condong kepada PKI karena banyak pentolannya yang bergabung dengan PKI sehingga pada saat yang sarna, rnereka yang anti-kornunis kemudian rneninggalkan orrnas ini. Hal ini sedikit banyak berpengaruh pula pada persepsi tentang URECA. Rektor universitas tersebut, Ny. Utarni Suryadarma, istri dari Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) kala itu, dikenal sebagai sosok yang condong kepada kornunis. Pada saat yang sarna, ia juga banyak merekrut tenaga pengajar yang berwarna ‘kiri’ seperti Prof Ernes Utrecht yang rnenjadi dekan Fakultas Hukurn dan Kemasyarakatan, Prof Dr. Mustofa, Tan Tek Seng, dr. Lie Tjwan Sien, Bakrie Siregar (tokoh Lekra), dan Prarnoedya Ananta Toer. Maka tidak perlu banyak waktu bagi rnasyarakat untuk segera mengidentikan URECA sebagai basis rnahasiswa kiri. Apalagi menjelang akhir 1965 banyak pula pirnpinan Dewan Mahasiswa URECA yang masuk ke dalarn Pernuda Rakyat dan CGMI, dua organisasi yang berafiliasi dengan PKI. Idem dito dengan para anggota organsiasi pernuda BAPERKI yang juga berbondong-bondong bergabung ke dalarn organisasi onderbuow PKI. Demikian pula banyak mahasiswa URECA yang rnenggabungkan diri dengan organisasi mahasiswa kiri seperti CGMI dan Perhirni. Sebagian besar mahasiswa URECA adalah keturunan Tionghoa, kaum minoritas yang mau tak mau harus menyandarkan diri pada organisasi yang lebih kuat demi kelangsungan keberadaan mereka. Itu yang tengah naik daun adalah Partai Komunis Indonesia, tidak perlu diherankan bila mereka juga menggabungkan diri pada organisasi onderbuow partai kiri tersebut.

Banyak pihak menilai, bergabungnya para mahasiswa keturunan Tionghoa ke dalam organisasi mahasiswa kiri lebih karena gagah-gagahan saja ketimbang karena dorongan ideologi. Gaya hidup mereka umumnya tidak dapat dikatakan kiri. Bahkan banyak yang menilai, mereka sebetulnya adalah para mahasiswa yang sok kekiri-kirian, karena pada masa itu memang menjadi kiri tengah jadi tren.

Pada perjalanannya banyaknya mahasiswa URECA yang bergabung ke organisasi mahasiswa kiri itu berdampak negatif bagi URECA. Paling tidak setelah kudeta PKI yang gagal, atau dikenal sebagai G30S PKI, meletus pada dinihari 1 Ok- tober 1965. Kemarahan masyarakat atas segala yang berbau komunis memuncak dan universitas-universitas yang dinilai mendukung PKI, termasuk URECA yang tengah berada di puncak kejayaannya, tak bisa menghindari diri dari sasaran.

Melihat kondisi yang semakin tidak kondusif, pada 11 Oktober 1965 Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP), dr. SjarifThajeb menutup untuk sementara waktu tiga perguruan tinggi swasta di Jakarta yang dianggap telah menjadi basis komunis, termasuk di antaranya URECA. Kampus ditutup, perkuliahan ditiadakan. Mahasiswa dan dosen dilarang masuk. Kampus pun dimasukkan ke dalam pengawasan Pemerintah.

Namun, penutupan saja tampaknya belum cukup untuk dapat meredam kemarahan massa atas kampus yang beberapa pekan sebelumnya telah pula menjadi tempat penampungan bagi delegasi anggota CGMI yang akan berkongres di Senayan. Pada 15 Oktober 1965, massa anti komunis mengepung kampus itu dan menyerbu masuk kendati dicoba dihadang oleh mahasiswa kiri yang ingin mempertahankan kampusnya.

Perkelahian tak terhindarkan, bahkan berkali-kali terdengar suara tembakan dan ledakan. Mahasiswa berlarian menghindar dan menyelamatkan diri. Massa yang terdiri dari mahasiswa, pemuda dan masyarakat umum, tak terbendung lagi. Penyerbuan itu berujung pada pembakaran, yang menyebabkan sebagian besar gedung URECA rata dengan tanah. Bahkan Bung Kamo sendiri yang sempat menyaksikan pembakaran itu dari helikopter, tak berdaya untuk mencegah, karena konflik antara massa pro dan anti-komunis di arena kampus tersebut sudah sedemikian buruknya.

Ditutup sementaranya kampus URECA yang kemudian diikuti dengan aksi pembakaran memunculkan masalah baru. Mahasiswa URECA yang kala itu sudah sempat mencapai 5000-an orang, tentu tidak semua pendukung komunis yang patut diganyang. Bahkan seandainya mereka ikut bergabung dengan organisasi mahasiswa kiri pun, sebagaimana sudah disebutkan di atas, umumnya hanyalah karena pertimbangan pragmatis untuk berlindung pada yang kuat. Mereka ini menjadi korban karena tidak dapat melanjutkan kuliah setelah kampus mereka dibakar. Idem dito dengan para dosen. Mereka yang sebagian besar adalah pengajar profesional yang tidak melibatkan diri pada kekuatan politik PKI, juga kehilangan mata pencaharian.

Tidak mengherankan bila muncul desakan dari berbagai elemen masyarakat agar kampus itu kembali dibuka. Sernakin disadari bahwa adalah berbahaya bila keadaan seperti ini dibiarkan berlarut-larut.Para mahasiswa yang menganggur itu, sangat mungkin kembali digarap oleh kekuatan-kekuatan kiri. Apalagi didapat pula informasi, kampus Universitas Bung Karno yang juga ikut ditutup, telah dipakai oleh kaum kiri untuk mengadakan rapat-rapat gelap.

Di antara tokoh-tokoh LPKB yang kemudian banyak terlibat dalam pembukaan kembali USAKTI adalah Ong Tjong Hay atau lebih dikenal sebagai Kristoforus Sindhunatha, Ferry Sonneville dan Harry Tjan Silalahi.

Sindhunatha di masa rnahasiswa di Universitas Indonesia adalah aktivis PMKRI dan kemudian berkarier sebagai perwira TNI AL. Ketika LPKB pada tahun 1963 diresmikan sebagai badan yang berada di bawah pengayoman Menko Hubra, Dr. Roeslan Abdoelgani, Sindhunatha diangkat oleh Presiden Soekarno sebagai Pejabat Kepala LPKB. Pangkatnya waktu itu adalah Letnan TNI-AL.

Ferry Sonneville kala itu dikenal sebagai juara Thomas Cup. Semasa kuliah di Belanda ia adalah ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) dan beberapa kali dalam kunjungannya ke Indonesia, ia semakin dekat dengan kalangan TNI, khususnya Jenderal A.H. Nasution, berkat peranannya mendampingi Profesor Tinbergen, ahli ekonomi pemenang nobel yang mengunjungi Indonesia.

Ada pun Harry Tjan Silalahi adalah tokoh mahasiswa dan aktivis PMKRI. Selain aktif di LPKB, ia juga sekretaris Front Pancasila, sebuah organisasi gabungan dari berbagai elemen masyarakat dan partai politik yang anti-Komunis. Masyarakat yang tergabung dalam gerakan inilah yang melakukan demonstrasi di jalan-jalan mengajukan pernyataan kepada Pemerintah untuk membubarkan PKI. Selain itu, salah satu yang terkenal dari aksi Front Pancasila adalah unjuk rasa dengan melancarkan Tri Tuntutan Rakyat pada 12 Januari 1966, yakni Pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya, Pembersihan Kabinet Dwikora dan PenurunanHarga-harga Barang. Ketua Front Pancasila sendiri adalah Subchan Z.E, seorang intelektual muda NU yang oleh Harry Tjan, juga turut diajak bergabung mengurus USAKTI.

Sindhunatha, Ferry Sonneville dan Harry Tjan menangkap aspirasi dari LPKB yang prihatin atas nasib para mahasiswa eks URECA. Oleh karena itu mereka berusaha mencari cara agar perkuliahan tidak berhenti terlalu lama. “Tidak semua rnahasiswa URECA komunis atau simpatisan komunis. Para rnahasiswa URECA yang non-kornunis harus diselamatkan,” tutur Harry Tjan, menggambarkan pemikiran LPKB saat itu.

Menurut Harry Tjan yang kemudian menjadi Ketua Dewan Pembina Yayasan Trisakti, sebagian besar mahasiswa eks URECA yang ‘keleleran’ itu adalah keturunan Tionghoa. Presiden Soekarno sendiri turut prihatin dan tidak ingin keadaan itu dibiarkan berlarut-larut.

“Bung Karno tidak menghendaki anak-anak Cina itu keleleran,” kata Harry Tjan. “Dia kasihan. Apalagi ketika itu anak-anak keturunan Tionghoa kesulitan untuk dapat melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi negeri.”

Oleh karena itu, menurut Harry Tjan, prakarsa LPKB untuk membuka kembali perkuliahan untuk menampung mahasiswa eks URECA direstui oleh Presiden Soekarno.

Mengatasi keadaan itu, Menteri PTIP kemudian mernbentuk Panitia Persiapan Pembukaan kembali URECA, tetapi muncul tentangan dari Ny. Utami Suryadarma sebagai (mantan) rektor URECA, yang melancarkan protes dan menuding LPKB sedang ingin mengambil-alih URECA.

Atas tudingan itu, Presiden Soekarno memanggil Ferry Sonneville. Ny Utami dan Ferry pun dikonfrontir perihal tudingan pengambilalihan URECA.

Kepada Presiden Soekarno, Ferry rnenjelas- kan bahwa yang menutup URECA bukan LPKB melainkan Pemerintah karena universitas tersebut dinilai telah menjadi saluran doktrin ekstrim kiri. Untuk menggantinya, harus dibentuk suatu lembaga pendidikan tinggi baru yang secara politis bebas dari pengaruh aliran politik mana pun, dan itu- lah tugas LPKB. Penjelasan Ferry ternyata dapat dipahami oleh Soekarno, dengan demikian kesalahpahaman yang selama ini terjadi dapat diatasi. Presiden Soekarno sendiri akhirnya dapat menerima peranan Ferry dan LPKB.

Hal yang sarna tetapi dengan rincian yang sedikit berbeda, dikisahkan oleh Josef Dharmabrata, yang kala itu menjadi mahasiswa senior di URECA dan aktivis PMKRI. Ide mernbuka kembali URECA, menurut dia, datang dari Presiden Soekarno setelah menyaksikan banyaknya mahasiswa yang terlantar akibat pembakaran kampus URECA. Presiden Soekarno kemudian memerintahkan Menteri Perguruan Tinggi, Sjarief Thajeb untuk mencari cara agar kampus tersebut dapat dibuka kernbali.

Berdasarkan perkembangan politik saat itu, tidak mungkin bagi Sjarief Thajeb memberikan kesempatan kepada Ny. Utami untuk membuka kembali URECA. Bagaimana pun, hal itu bisa mendatangkan kemarahan massa yang lebih besar, mengingat Ny. Utami termasuk tokoh yang dianggap kiri dan saat itu seakan menjadi musuh publik.

Oleh karena itu, Sjarief Thajeb memanggil sejumlah perwakilan mahasiswa dari PMKRI, GMKI, GMNI dan lain- lain di URECA untuk membicarakan pembukaan kembali kampus tersebut.

“Karena umur saya saat itu sudah berusia 35 tahun, termasuk mahasiswa paling senior di URECA, saya ikut dipanggil oleh Pak Sjarief lhajeb. Ketika itu beliau bertanya bagaimana cara membuka kembali kampus URECA,” kata Josef.

“Ketika beliau menanyakan hal itu kepada kami, saya mengatakan kepada beliau, agar perihal pembangunan fisik kampus, tidak perlu beliau pikirkan. Kita (para mahasiswa) sanggup untuk kerja bakti membangunnya. Itu sebabnya pembangunan kembali kampus URECA adalah hasil kerja mahasiswa, tidak memakai jasa pemborong dan bukan atas dana Pemerintah,” lanjut Josef.

Demikian pula halnya ketika Sjarief Thajeb bertanya bagaimana melakukan penyaringan (skrining) mahasiswa untuk memastikan agar mereka yang tergolong kiri tidak lagi turut bergabung, para aktivis mahasiswa itu menjawab bahwa itu juga akan dikerjakan sendiri oleh mahasiswa. Sebagai tindak lanjutnya. dibentuk Komando Kerja Mahasiswa (KKM) yang pengurusnya berasal dari Orrnas-orrnas mahasiswa yang ada di URECA. “Karena saya yang paling senior, saya yang dipilih,” kata Josef.

Sementara itu, panitia persiapan pembukaan kembali URECA yang dibentuk Sjarief Thajeb juga mulai bekerja dengan tugas menyusun suatu badan yang akan menangani pembentukan universitas baru yang dimaksudkan dapat menampung mahasiswa eks URECA.

Badan ini disebut sebagai Presidium Sementara, terdiri elemen pemerintah dan masyarakat. Pada intinya terdapat tiga unsur, yakni unsur Departemen PTIP, unsur Angkatan Bersenjara Republik Indonesia (ABRI, kini TN!) yakni Komando Operasi Tertinggi (KOTI) dan unsur LPKB. Pada proses selanjutnya diusahakan pula keterlibatan Front Pancasila sebagai unsur masyarakat.

Keterlibatan unsur ABRI, yakni G-5 KOTI dalam presidium tentu tidak dapat dilepaskan dari konteks sejarah kala itu. Pada zaman Soekarno atau lazim disebut Orde Lama, terdapat beberapa ‘pusat penentu politik,’ dan salah satunya adalah KOTI ABRI. Setelah meletusnya G30S PKI, pendulum kekuasaan kian mengarah kepada Panglima Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, yang dijabat oleh Pangkostrad Soeharto yang juga Kastaf KOTI. Tugas KOTI dalam operasi keamanan dalam rangka mendukung pelaksanaan program Pemerintah sangat luas, termasuk membenahi universitas-universitas swasta yang bermasalah.

Hal inilah yang menyebabkan unsur ABRI, selain unsur Kementerian PTIP dan LPKB ada pada presidium USAKTI. Menurut Keputusan Menteri PTIP No 013 tertanggal 15 November 1965, personil Presidium Sementara terdiri dari Ir Kartomo Brotoatmodjo M.Se, Eko Purwoto dan Drs. Hariry Hadi dari unsur Kementerian PTIP, Komisaris Besar Polisi Drs. Siswadji M.A dan Mayor Gani Djemat SH dari unsur ABRI dan Drs. Ferry Sonneville dari LPKB. Disamping itu keanggotaan dalam Presidium juga diisi oleh unsur eks URECA yang tidak terlibat G30 S PKI, yakni Ir. Pudjono Hardjoprakoso.

Sebelum Keputusan Menteri PTIP tentang personil Presidium Sementara ditandatangani pada 15 November, mereka sudah beberapa kali mengadakan rapat. Beberapa kali dalam pertemuan itu, usulan nama Trisakti muncul. Pemberian nama itu diinspirasi oleh kata Trisakti yang disematkan Bung Karno pada sebuah berlian besar di Martapura dan kemudian dia gunakan untuk menjelaskan tiga pilar dalam pembangunan karakter bangsa, yakni merdeka secara politik, berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Nama Trisakti akhirnya dipilih dan nama ini dalam perjalanannya diartikan sebagai melaksanakan tridarma perguruantinggi, mewujudkan persatuandan kesatuanan antara Yayasan, Universitas dan fakultas serta mahasiswa sebagai keluarga besar serta sebagai wadah pengembangan pendidikan, demokrasi dan modernisasi. Penjelasan tentang Trisakti ini sekaligus meluruskan anggapan bahwa nama Trisakti bagi USAKTI tidak merupakan nama yang diberikan langsung oleh Bung Karno.

Dalam pembagian kerjanya, Presidium Sementara USAKTI itu disusun sebagai berikut:

Ketua/Rektor: Komisaris Besar Polisi Drs. Siswadji M.A.
Wakil KetuaiUrusan Indoktrinasi: Drs. Ferry Sonneville
Sekretaris/Urusan Kurikulum: Ir. Kartomo Brotoatmodjo M.Sc.
Anggota:
Urusan Kemahasiswaan:
Eko Purwoto
Urusan StafPengajar: Drs. Hariry Hadi
Urusan Pembangunan Fisik: Ir. Pudjono Hardjorakoso
Urusan Administrasi: Mayor Gani Djemat S.H.

Sebagai catatan, Mayor Gani Djemat S.H. merupakan pengurus nonaktif karena banyak tugas di Departernen Hankam. Tugas administrasi keuangan kemudian dikerjakan oleh Pembantu Presidium AKBP Drs. Fred Ameln S.H.


Presidium Sementara dan Komando Kerja Mahasiswa (KKM)

Presidium Sementara USAKTI bergerak cepat untuk segera dapat memulihkan kegiatan perkuliahan. Ini tidak mudah karena ketegangan masih muncul di lingkungan kampus. Usaha-usaha untuk membakarnya kembali masih mengancam. Selain itu, tidak dapat terhindarkan persepsi bahwa sivitas akademika URECA mayoritas komunis. Akibatnya tidak sedikit yang ditahan bahkan hilang.

Kondisi fisik gedung-gedung umumnya tidak memadai. Ini juga menjadi tantangan tersendiri. Satu-satunya bangunan bekas terbakar yang dapat dipakai adalah gedung di lantai dasar yang kemudian digunakan sebagai kantor Presidium dan perkuliahan Fakultas Teknik.

Maka Presidium bersama dengan Komando Kerja Mahasiswa (KKM) bekerja bersama mengatasi berbagai hambatan ini. KKM sendiri kemudian membentuk Kelompok Pengaman Kampus, yang tugasnya menjaga keamanan kampus secara langsung di lapangan. Penjagaan dilangsungkan selama 24 jam, sehingga ada giliran penjaga.

Selain menjaga keamanan kampus, KKM juga terlibat dalam rehabilitasi fisik kampus. Rehabilitasi itu antara lain dilakukan melalui pembangunan bangsal-bangsal dengan ukuran besar. Sebagian besar dikerjakan dengan gotong-royong oleh mahasiswa karena keterbatasan dana. Terbentuklah sebuah bangunan permanen seluas 5000 meter yang kemudian dipakai sebagai tempat perkuliahan.

Darimana pendanaan pembangunan ini?

“Setelah bertemu Pak Sjarief Thayeb, saya bertemu dengan Pak Ferry Sonneville. Saya bertanya kepada beliau dari mana dana untuk melakukan pembangunan tersebut. Beliau menjawab, jangan khawatir, karena beliau mempunyai jatah kesempatan ekspor dengan sistem deferred payment dari Pemerintah yang kemudian dapat dijual,” kisah Josef

Demikianlah, lanjut Josef, dalam proses pembangunan kampus USAKTI tersebut, dia selalu menerima pembayaran dari Ferry Sonneville. “Setiap kali saya perlu dana, saya ambil dari Pak Ferry. Saya teken bon saja. Kita bangun yang rusak, kita pekerjakan mahasiswa, samasekali tidak pakai pemborong,” kata Josef.

Oleh karena itu, menurut Josef, sangat tidak masuk akal jika ada yang mengatakan bawa USAKTI adalah milik negara. “Simpel saja jawabannya. Yang dibangun kembali itu kan universitas swasta, bukan universitas milik negara.”

Proses lain yang juga menjadi kunci bagi kelangsungan USAKTI selanjutnya adalah penyeleksian mahasiswa. Ini tidak dapat diabaikan karena universitas baru ini harus bebas dari aliran politik mana pun. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk menyaring agar tidak ada lagi mahasiswa-mahasiswa eks URECA yang beraliran kiri di dalam universitas yang baru. Untuk itu, Presidium kemudian membentuk tim skrining yang diketuai oleh Sindhunatha. Anggotanya terdiri dari beberapa aktivis PMKRI, GMKI, HMI, GMNI dan GMD. Mereka umumnya dipilih karena telah mengetahui latar belakang rekan-rekannya ketika masih sesama mahasiswa URECA.

KKM kembali berperan penting dalam proses skrining mahasiswa ini. Josef Dharmabrata selaku ketua KKM bercerita sempat terjadi ketegangan antara dirinya dengan salah seorang pengurus KAMI saat itu, yang menghendaki proses skrining tersebut dilakukan oleh KAMI. Tetapi Josef, yang juga aktivis KAMI mengatakan sebaiknya proses skrining dilakukan oleh KKM yang sudah lebih mengenal mahasiswa-mahasiswa URECА.

Untuk mengejar tenggat waktu pembukaan yang kian mendesak, proses skrining harus dilakukan dengan cepat. Proses skrining dilakukan dengan mewajibkan mahasiswa eks URECA mengisi formulir pendaftaran. Salah satu pertanyaan yang harus dijawab dalam formulir isian itu adalah afiliasi politik dan keanggotaan di organisasi mahasiswa maupun ormas lainnya.

Mereka yang non-komunis dapat melenggang karena keanggotaan mereka di organisasi mahasiswa biasanya dilegalisasi oleh pimpinan cabang. Yang memerlukan penelitian lebih jauh adalah mahasiswa yang tidak menyebutkan afiliasinya atau yang non-ormas. Inilah yang menjadi obyek penelitian ulang tim skrining. Dari hasil skrining tersebut hanya sekitar 2200 dari 5000 mahasiswa yang mendaftar untuk diskrining yang dinyatakan tidak terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam pemberontakan G30S/PKI maupun organisasi yang berafiliasi kepada PKI. Kurang lebih 1000-an mahasiswa diragukan kebersihan dirinya dan memerlukan skrining ulang, sedangkan 1000-an lainnya ditolak.

Selain itu, skrining tidak hanya dilakukan terhadap mahasiswa tetapi juga kepada staf pengajar. Proses skrining itu mau tidak mau membuat banyak mahasiswa tersingkir. Tidak sedikit yang melampiaskan kekecewaannya dengan reaksi keras, yang menyebabkan ada gejolak-gejolak kecil. Namun sebagaimana pengakuan Josef, gejolak tersebut tidak sampai membuat kekacauan.

“Sebagai Ketua KKM saya harus bertindak tegas dalam menjalankan proses skrining itu. Ada beberapa yang marah kepada saya. Mereka itu umumnya teman juga. Misalnya, saya terpaksa mengeluarkan seorang sahabat dekat karena dia salah satu pentolan Perhimi, ormas yang berafiliasi kepada PKI pada waktu itu. Saya minta dia harus keluar, dan tidak boleh menjadi mahasiswa USAKTI. Sebagai teman, saya sedih, tetapi tidak ada pilihan.”

Pada 29 November resmilah USAKTI dibuka. Peresmiannya dilakukan oleh Menteri PTIP dr. Sjarif Thajeb yang dihadiri para anggota Presidium Sementara, para mahasiswa dan para dosen. Ketua Presidium, AKBP Drs. Siswadji menjadi rektor pertama universitas dengan pemikiran sebagai ketua ia harus menjalankan misi dan kebijakan presidium.

Dipilihnya Drs. Siswadji sebagai rektor juga didasarkan pada pertimbangan lain menyangkut kebutuhan pada saat itu. Bagaimana pun USAKTI sebagai eks URECA masih dianggap rawan dari sudut keamanan mengingat sebelumnya URECA dicap sebagai basis PKI. Untuk itu diperlukan penanganan secara sipil dan karena itulah ditempatkan pejabat kepolisian, bukan tentara sebagai rektor. AKBP Drs. Siswadji dinilai memiliki latar belakang pengetahuan akademis tentang ideologi dan gerakan komunisme. Ia diharapkan dapat mendeteksi dan mengarahkan lingkungan kampus untuk menjadi kaum Pancasilais. Lagipula AKBP Drs. Siswadji pernah berkarier di lingkungan perguruan tinggi ketika menjadi asisten Prof. Soenario. Ini juga merupakan nilai tambah yang menyebabkan ia dipilih sebagai rektor.

Pada masa awal dibukanya URECA, ada lima fakultas yang menampung mahasiswa. Fakultas-fakultas itu terdiri dari: Fakultas Teknik yang terdiri dari lima departemen, yak ni Departemen Sipil, Departemen Mesin, Departemen Elektro, Departemen Arsitektur dan Departemen Seni Rupa.

Fakultas Kedokteran Gigi. Fakultas Kedokteran. Fakultas Ekonomi Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat. Penentuan fakultas yang dibuka kembali didasarkan pada mahasiswa yang mendaftar kembali. Itu sebabnya Fakultas Sastra dan Jurusan Sastra Tiongkok yang sebelumnya ada, terpaksa ditiadakan sementara karena jumlah mahasiswa dan staf pengajar yang mendaftar sedikit sekali. Mahasiswa Fakultas Sastra hanya dua orang sedangkan staf pengajar hanya delapan orang. Warna kekiri-kirian dalam kurikulum semasa URECA menjadi sasaran prioritas dalam penyusunan ulang kurikulum USAKTI. Sebagai misal, mata kuliah Civics yang sangat khas merupakan konsepsi pembangunan karakter bangsa ala BAPERKI, ditiadakan sama sekali. Ia diganti dengan konsep pembangunan bangsa yang menekankan program asimilasi atau pembauran untuk membentuk manusia Pancasilais.

Yayasan Trisakti Presidium Sementara USAKTI, seperti namanya, sejak dibentuk sudah disadari tidak bersifat permanen. Untuk menyelenggarakan sebuah lembaga pendidikan swasta seperti USAKTI, badan hukum yang lazim pada waktu itu adalah Yayasan. Bagaimana pun sebuah universitas adalah ‘proyek besar dan berjangka panjang. Untuk itu diperlukan sebuah badan permanen dengan landasan hukum yang kuat.

Menurut Undang-Undang yang berlaku saat itu, yakni UU No 22 tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi, pihak-pihak yang mendirikan sebuah PTS harus memberitahukannya kepada Menteri PTIP selambat-lambatnya enam bulan sejak PTS tersebut berdiri. Dalam pemberitahuan itu harus disampaikan akte Notaris pendirian Badan Hukum yang menyelenggarakannya, anggaran dasar, harta kekayaan dan/atau sumber pendapatan yang diperuntukkan penyelenggaraan Perguruan Tinggi tersebut, rencana pelajaran dan daftar tenaga pengajar yang memuat riwayat pendidikan dan pekerjaan masingmasing pengajar serta pelajaran yang diberikannya. Selain itu, harus juga dibuat pernyataan bahwa PTS tersebut akan sungguh-sungguh berdasarkan Pancasila dan Manifesto Politik Republik Indonesia. Keduapuluhtujuh hal itu dipertegas lagi dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia tentang Pendirian Perguruan Tinggi Swasta no 15 tahun 1965 yang dikeluarkan pada tanggal 10 November 1965. Perpres itu menegaskan bahwa Badan Hukum yang hendak menyelenggarakan suatu Perguruan Tinggi Swasta, sebelum mendirikan Perguruan Tinggi tersebut, wajib meminta persetujuan terlebih dahulu kepada Menteri PTIP. Pertimbangan-pertimbangan ini menjadi bagian dari diskusi di lingkungan Presidium yang dalam usia beberapa bulan mulai kewalahan dalam menjalankan roda penyelenggaraan USAKTI. Gagasan untuk mendirikan sebuah Yayasan yang akan menjadi payung sekaligus badan hukum USAKTI kian mengental.

Pembicaraan-pembicaraan mengenai pendirian yayasan itu pada perjalanannya tidak terbatas pada Presidium belaka. Turut juga terlibat sejumlah tokoh yang sedari awal memang sudah terjun menangani USAKTI. Di antara mereka ini, tersebutlah Subchan Z.E. dan Harry Tjan Silalahi, masing-masing sebagai Ketua dan Sekretaris Front Pancasila, K. Sindhunatha, Kepala Lembaga Pembinaan dan Kesatuan Bangsa (LPKB), Sutjipto SH dari G-5 KOTI, Menteri PTIP, Sjarif Thajeb dan Ir. Kartomo Brotoatmodjo. Gagasan pendirian yayasan itu lantas direalisasikan pada tanggal 27 Januari 1966. Nama yayasan adalah Yayasan Trisakti dan bertindak sebagai pendiri adalah Brigjen dr. Sjarif Thajeb menjabat menteri PTIP dan K. Sindhunatha S.H. menjabat Kepala LPKB kompartemen hubungan dengan rakyat. Yayasan Trisakti dikukuhkan dengan akte notaris E. Pondaag nomor 31 tertanggal 27 Januari 1966. Beriringan dengan itu Dewan Pengawas dan Badan Kerja Harian Yayasan Trisakti pun dibentuk. Mereka diangkat dengan keputusan Menteri PTIP no 51 tahun 1966 yang terdiri dari:

Dewan Pengawas:

1. Brigjen Prof. Dr. Soemantri Hardjoprakoso, anggota merangkap ketua
2. Mayor Laut K. Sindhunatha S.H., anggota
3. Drs. Radius Prawiro, anggota
4. Moh. Hassan, anggota.

Dewan Pengurus:

1. Drs. Ec. Ferry A. Sonneville, anggota merangkap Ketua
2. Brigjen dr. Wonojudo, anggota merangkap Ketua 1
3. Padmosoemasto S.H., anggota merangkap Sekretaris
4. Toto Bachri, anggota merangkap Bendahara 1
5. Dr. H. Haditono, anggota merangkap Bendahara 2
6. Brigjen Soetjipto, S.H., anggota
7. Drs. Siswadji MA, anggota
8. Subchan Z.E, anggota
9. Kolonel Witono, anggota
10. Harry Tjan Silalahi S.H., anggota
11. Drs. Ec. Oei Beng To, anggota
12. Brigjen A. Gani, anggota
13. Drs. Soeganda, anggota

Badan Kerja Harian:

1. Drs. Ec. Ferry Sonneville, anggota merangkap Ketua
2. Padmosoemasto, S.H., anggota merangkap Sekretaris
3. Dr. H. Haditono, anggota merangkap Bendahara
4. Drs. Siswadji M.A., anggota
5. Harry Tjan S.H., anggota
6. Drs. Ec. Oei Beng To, anggota.

Besarnya peranan LPKB dalam Yayasan Trisakti sebagaimana tercermin dari posisinya sebagai pendiri, tidak terlepas dari keterlibatan tokoh-tokohnya sejak awal, yang dimulai dari keprihatinan atas terlantarnya perkuliahan eks mahasiswa URECA. Dapat dikatakan LPKB sebagai wakil masyarakat keturunan Tionghoa telah menjadi penyelamat bagi warisan masyarakat keturunan Tionghoa yang sangat berharga yakni USAKTI itu sendiri.

Ir. Tjahjadi Tjondronegoro salah seorang aktivis PMKRI pada masa itu dan banyak terlibat dalam pembukaan kembali USAKTI, mencatat kehadiran LPKB dalam sejarah perjalanan universitas ini dalam nada apresiatif. “Dalam membangun USAKTI, saya tidak bisa lupa peran LPKB yang dipelopori Bapak Ferry Sonneville, Sindhunatha dan Harry Tjan Silalahi. Salah satu misi pembangunan USAKTI adalah membina persatuan bangsa. Tanpa pandang perbedaan etnis, agama dan aliran. Semua bersatu menghadapi tantangan,” kisah Ir. Tjahjadi Tjondronagoro.

Dalam buku karyanya, Memenuhi Panggilan Tugas, Jenderal Purn. AH. Nasution menyinggung tentang bagaimana USAKTI didirikan serta peranan tokoh-tokoh LPKB dalam perjalanan sejarahnya. Menurut Nasution yang kala itu menjadi Wakil Panglima Besar (Wapangsar) KOTI, dalam menangani universitas-universitas yang ditutup pasca G30S PKI, G-5 KOTI menunjuk sendiri orang-orang yang dipercayainya dan dikoordinasikan dengan Departemen PTIP. Khusus untuk eks URECA, menurut Nasution, ia berkeinginan agar dipimpin oleh Ferry Sonneville atas nama LPKВ dan Drs. Siswadji dari kepolisian.

Ini berbeda dengan dua universitas lain yang juga ditutup -Universitas Bung Karno dan Universitas Pancasila – di mana Nasution menyatukannya ketika dibuka kembali dan Nasution sendirilah yang menjadi Ketua Yayasannya. Penunjukan Ferry Sonneville dan LPKB dalam menangani eks URECA, menurut Nasution adalah sebuah penghargaan atas prakarsa WNI keturunan Tionghoa yang telah mendirikannya dahulu. Selain itu, LPKB terpilih karena diharapkan dapat mengarahkan universitas baru itu kepada proses nation building yang sesuai dengan cita-cita Proklamasi, Sumpah Pemuda dan Orde Baru.

Menurut Harry Tjan Silalahi, sejak awal ketika Yayasan berdiri yang banyak dimotori oleh kalangan LPKB, misi utama mereka adalah untuk melanjutkan memberikan pendidikan kepada anak-anak yang terlantar akibat korban politik di masa itu. “Memang mereka tidak lagi menjadi anak-anak BAPERKI, tetapi dididik menjadi anak-anak Pancasilais. Tetapi yang jelas mereka tidak lagi keleleran, mereka dapat melanjutkan sekolah. Sebab kalau tidak, mereka akan sekolah dimana? Ke sekolah negeri, mereka tidak boleh karena tidak ada tempat. Melanjutkan sekolah ke luar negeri, hanya mampu dilakukan oleh orang kaya. Tetapi Yayasan telah mengambil prakarsa. Dan sekarang, sudah ribuan jumlah mereka yang telah menjadi dokter, menjadi S.H. melalui USAKTI.

Maka, jika orang-orang BAPERKI dulu memang ikhlas mau mendidik bangsa, seharusnya mereka berterimakasih kepada kita. Sebab dalam keadaan mereka yang susah akibat pergolakan politik ketika itu, misi mereka dapat kita lanjutkan, tanpa pamrih apapun,” kata Harry Tjan. Lagipula, menurut Harry Tjan Silalahi, jika prakarsa untuk mendirikan USAKTI itu tidak diambil oleh Yayasan kala itu, sangat besar kemungkinan URECA akan menjadi ajang perebutan berbagai kesatuan yang ada pada masa itu. Sangat besar kemungkinan URECA akan diserbu kembali. Namun berkat kehadiran Front Pancasila yakni sebuah organisasi gerakan masyarakat yang menjadi bagian dari Yayasan sebagai pendiri Trisakti, misi untuk mendidik bangsa itu dapat berjalan tanpa gangguan yang berarti. “Dan kita berjalan di jalur yang benar. Kita membawa anak-anak itu tetap menjadi nasionalis, bukan kader-kader Marxist, melainkan kader Pancasilais,” tutur Harry Tjan.29 Tidak dapat dipungkiri, hingga saat ini masih terdapat sejumlah orang yang belum dapat menerima secara ikhlas peralihan URECA menjadi USAKTI. Ketidakrelaan ini terutama ada pada eks mahasiswa URECA tempo dulu yang tidak lolos skrining dan harus meninggalkan URECA.

“Memang tidak semuanya ikhlas. Terakhir, saya diundang dalam reuni eks mahasiswa Universitas BAPERKI. Dalam forum itu mereka meminta saya menjelaskan bagaimana terjadinya perubahan URECA menjadi USAKTI. Beberapa di antara mereka masih tetap merasa sebagai korban yang didzolimi karena mereka harus keluar dari URECA, meskipun pada kenyataannya banyak di antara mereka yang melanjutkan pendidikan ke Jerman, Belanda dan ke luar negeri lainnya serta mendapat kehidupan yang layak,” kisah Josef Dharmabrata.

Meskipun demikian, lanjut Josef, lebih banyak lagi yang melihat bahwa kehadiran USAKTI sudah merupakan keniscayaan sejarah yang harus dipandang sebagai sumbangan yang penting bagi upaya mencerdaskan bangsa.

“Tujuan pendidikan adalah untuk mencerdaskan bangsa. Itu merupakan citacita BAPERKI. Dan itu sudah terwujud melalui USAKTI,” kata Josef. “Sekarang lulusan USAKTI sudah mencapai 90 ribu lebih. Itu sumbangan USAKTI kepada negara dan semestinya semua orang berbangga atas hal itu. Kalau tidak ada BAPERKI, tidak ada Res Publica. Kalau tidak ada Res Publica tidak ada Trisakti. Kalau tidak ada Trisakti, tidak ada 90 ribu alumni yang sudah memberikan tenaga dan pengetahuannya kepada negara ini,” tambah Josef Dharmabrata

Menurut Josef, adanya pihak-pihak yang masih tetap menyimpan rasa sakit hati atas ditutupnya URECA dan berdirinya USAKTI, lebih merupakan persoalan psikologis individu yang hanya dapat diselesaikan bila sudah dapat berdamai dengan diri sendiri dan melupakan luka lama masa lalu.

Josef tidak lupa mengisahkan seorang aktivis URECA yang di masa mahasiswa dulu menjadi ketua Dewan Mahasiswa dan karena juga menjadi tokoh CGMI, dia ditangkap lalu diasingkan ke Pulau Buru. Selepas dari Pulau Buru, ia kemudian memasuki kehidupan normal. Dan atas pertolongan seorang sahabat, ia kemudian bekerja sebagai kepala gudang di sebuah perusahaan swasta.

“Saya bertemu beliau dan kami sering bermain tennis meja bersama. Yang saya salut, dia datang menyalami saya dan tidak menyimpan dendam sedikit pun. Dia mengatakan salut dan bangga dengan apa yang dilakukan USAKTI melanjutkan misi mencerdaskan bangsa yang telah dirintis oleh BAPERKI. Menurut saya, dia itulah murid sejati dari Siauw Giok Tjhan. Penderitaannya di Pulau Buru tidak membuat dia memelihara dendam,” kata Josef.

Kenyataan sejarah ini membawa pengertian bahwa USAKTI sebagai sebuah universitas baru merupakan lembaga pendidikan tinggi yang diinisiasi oleh masyarakat – bukan oleh Pemerintah meskipun memang mendapat dukungan dari Pemerintah. Kendati pembukaan kembali USAKTI diresmikan oleh Pemerintah, pada dasarnya USAKTI adalah sebuah universitas swasta dan karena itu tunduk kepada aturan-aturan yang berkaitan dengan universitas swasta. Hal ini semakin jelas lagi bila menilik perjalanan dan perkembangannya kemudian, di mana sebagaimana lazimnya di universitas swasta, Yayasan Trisakti menjadi penggerak perkembangan USAKTI sejak bulan-bulan pertama universitas itu berdiri.